21.1.11

inspirasi hujan

Seperti biasanya, aku hanya berani memandangnya dari kejauhan. Dari lantai tiga kampus, aku tak bosan menatapnya dengan tatapan penuh kekaguman. Dia memang lelaki yang sempurna, pembawaannya yang tenang, tutur katanya yang sopan dan berisi membuat siapa pun yang mendengar dan melihatnya menjadi terpukau dalam kekaguman. Begitupun aku, meski hanya dari kejauhan, aku selalu terkesima setiap kali mendengarkannya mengeluarkan argumen-argumennya.
 Udara bandung sore ini cukup sejuk, mendung tampak menguasai langit. Ku hirup dalam-dalam wangi mendung, ku penuhi paru-paruku dengan udara sejuk. Rintik hujan mulai berlomba untuk mencapai tanah. Seperti biasanya aku memperlambat langkahku. Mungkin bagi sebagian orang kebiasaanku ini aneh, karena hampir semua orang mulai berlari mendahuluiku untuk mendapatkan perlindungan, sedangkan aku justru dengan santai berjalan sambil mengulurkan tangan, menikmati sapaan lembut hujan. Di  umurku yang nyaris 19 tahun ini, aku masih suka bermain hujan. Bagiku adalah suatu kebodohan jika orang-orang berlari menghindari hujan, apalagi bila jarak yang ditempuh cukup jauh. Hanya membuang tenaga, toh pada akhirnya mereka kuyup juga.
Kemudian teringatlah memori pada saat saya diberi kesempatan untuk saling berbagi cerita bersamanya, dan mulailah saya menceritakan tentang kisah getir dimasa lalu, tentang aku yang mencintai tapi kemudian dicampakan. Tentang niat baik yang pada akhirnya dilupakan. Ia hanya tersenyum kepadaku seraya berkata: "Walk silently under crescent, do everything with whole your heart, don't ever let everyone see it, but let you and God who know it". Seketika aku terdiam mendengarnya, begitu sederhana dan menusuk.

"Cobalah belajar ketulusan pada bumi, ia diinjak dan diludahi tapi tetap sediakan apa pun yang manusia butuhkan. Bila kau katakan kau tulus mencintainya, jangan pernah ada penyesalan atas pengorbanan yang kau berikan padanya. Jika pun ia tak dapat membalas ketulusanmu. Percayalah, Tuhan akan mengganti kebaikanmu dengan kebaikan yang paling tidak sama baiknya bagimu."

Tak dapat satu kata pun keluar dari lisanku, hanya anggukan persetujuan dibarengi dengan tatapan penuh ketakjuban yang dapat kuperlihatkan. Sungguh, baru kali ini aku mati gaya. Tak ada sama sekali perlawanan yang biasa keluar dari pikiran kritisku. Aku kalah telak.




Malam ini aku nyaris tak bisa tidur, mataku mengantuk, tapi pikiranku tak juga mau beristirahat. Otakku mengulang-ulang kejadian tadi siang. Ucapan dia benar-benar menyadarkanku akan apa yang telah kulakukan belum lah pantas disebut sebuah ketulusan.

Bukankah tulus berarti tanpa pamrih? Bila kita berharap cinta akan berbalas cinta bukankah sama saja kita mengharap pamrih? Bukankah tak selamanya cinta diberikan dengan cara yang sama dengan yang kita inginkan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus terulang dipikiranku. Sepertinya aku memang terlalu picik dalam menilai sebuah ketulusan.

Keinginanku untuk memilikinya semakin menjauh, mungkin ada baiknya jika aku tetap berada pada posisi sang pengagum. Agar aku dapat mengenalnya seperti saat ini aku mengenalnya. Agar aku tak kecewa jika ia ternyata tak sebaik yang kubayangkan.cukuplah ia menjadi panutan bagiku. Biarkan aku menyukainya seperti aku menyukai hujan. Mengaguminya tanpa alasan. Menikmatinya tanpa takut kehilangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar